Ruangan itu pecah menjadi gumaman marah.
“Ada sembilan belas dari kami!” lanjut berandalan itu. “Selusin dari kami adalah untuk membawanya pergi, di dalam naungan kegelapan, menyeberangi jembatan Ngarai, dan menuju ke alam liar. Mereka menyembunyikannya di dalam sebuah kereta dan membawanya menyeberangi jembatan sehingga prajurit yang berjaga tak akan tahu apa yang ada di dalamnya. Yang lain, tujuh dari kami, diperintahkan untuk tetap tinggal setelah pencurian itu. Kami diberitahu bahwa kami akan dipenjarakan, seperti sebuah pertunjukan, dan kemudian dibebaskan. Tapi sebaliknya, semua teman-teman saya dieksekusi. Saya juga akan dieksekusi, jika saya tidak kabur.”
Ruangan itu berubah menjadi gumaman gelisah yang panjang.
“Dan ke manakah mereka membawa pedang itu?” desak komandan.
“Saya tidak tahu. Di suatu tempat jauh di dalam Kekaisaran.”
“Dan siapakah yang memerintahkan hal semacam itu?”
“Dia!” kata berandalan itu, tiba-tiba berpaling dan mengacungkan telunjuknya pada Gareth. “Raja kita! Dia memerintahkan kami untuk melakukan hal itu!”
Ruangan itu pecah menjadi gumaman ngeri, muncullah seruan, sampai akhirnya seorang anggota dewan memukulkan tongkat besi beberapa kali dan berteriak menyuruh diam.
Ruangan itu terdiam, tapi nyaris sunyi.
Gareth, sudah gemetar takut dan marah, berdiri perlahan-lahan dari singgasanaya, dan ruangan itu hening, saat semua mata tertuju padanya.
Satu demi satu langkah, Gareth menuruni anak tangga berwarna gading, langkah kakinya bergema, keheningan begitu pekat sehingga seseorang bisa memotongnya dengan sebilah pisau.
Ia menyeberangi ruangan itu, sampai akhirnya ia mencapai berandalan itu. Dia menatapnya dengan dingin, dari jarak satu kaki, pria itu menggeliat di dalam lengan komandan, melihat ke segala arah selain dirinya.
“Pencuri dan pembohong hanya berurusan dengan satu cara di kerajaanku,” ujar Gareth lembut.
Gareth tiba-tiba menarik sebilah belati dari pinggangnya dan menikamkannya ke jantung berandalan itu.
Pria itu berteriak kesakitan, matanya terbelalak, kemudian tiba-tiba merosot jatuh ke lantai, mati.
Komandan itu menatap Gareth, dengan tatapan mencemooh.
“Anda baru saja membunuh seorang saksi yang melawan Anda,” ujar komandan itu. “Tidakkah Anda menyadari bahwa hal itu hanya akan mendukung secara tak langsung terhadap kesalahan Anda?”
“Saksi apa?” Gareth bertanya, tersenyum. “Orang mati tidak berbicara.”
Komandan itu memerah.
“Seandainya Anda lupa, saya adalah komandan dari setengah pasukan Raja. Saya tidak akan bermain-main. Dari tindakan Anda, saya hanya bisa menduga bahwa Anda bersalah atas kejahatan yang dia tuduhkan kepada Anda. Sehingga, saya dan pasukan saya tidak akan mengabdi kepada Anda lagi. Malahan, saya akan membawa Anda ke dalam tahanan, menghukum Anda atas pengkhinatan terhadap Cincin!”
Komandan itu mengangguk kepada prajuritnya, dan bersama-sama, beberapa lusin prajurit menghunuskan pedang mereka dan melangkah maju untuk menahan Gareth.
Lord Kutlin melangkah maju dengan dua kali lipat jumlah prajuritnya, semua menghunuskan pedang mereka dan berjalan di belakang Gareth.
Mereka berdiri di sana berhadapan dengan prajurit komandan, Gareth di tengah-tengah.
Gareth tersenyum menang ke arah komandan itu. Prajuritnya kalah jumlah oleh pasukan petarung Gareth, dan dia tahu itu.
“Saya tidak akan pergi ke dalam tahanan siapa pun,” Gareth mencemooh. “Dan pastinya bukan dengan tanganmu. Bawalah prajuritmu dan pergilah dari istanaku – atau temuilah kemurkaan pasukan petarung pribadiku.”
Setelah beberapa detik ketegangan, komandan itu akhirnya berbalik dan memberi isyarat kepada prajuritnya, dan bersama-sama, mereka semua mundur, berjalan dengan hati-hati ke arah belakang, pedang-pedang terhunus, dari ruangan itu.
“Mulai hari ini dan seterusnya,” komandan itu menggelegar, “biarlah diketahui bahwa kami tidak lagi mengabdi kepada Anda! Anda akan menghadapi pasukan Kekaisaran sendirian. Saya harap mereka memperlakukan Anda dengan baik. Lebih baik dari Anda memperlakukan ayah Anda!”
Para prajurit itu segera keluar dari ruangan, dengan dentang baju besi yang keras.
Lusinan anggota dewan, pengawal, dan bangsawan yang tetap berdiri di dalam keheningan, berbisik.
“Tinggalkan aku!” Gareth berteriak. “KALIAN SEMUA!”
Semua orang yang tersisa di dalam ruangan itu segera pergi, termasuk pasukan penyerang Gareth sendiri.
Hanya satu orang yang tetap tinggal, berlama-lama di belakang yang lain.
Lord Kutlin.
Hanya dia dan Gareth saja di dalam ruangan itu. Dia berjalan bersama Gareth, berhenti beberapa kaki, dan mengamatinya, seolah-olah menaksirnya. Seperti biasanya, wajahnya tanpa ekspresi. Itu adalah wajah yang sebenarnya dari tentara bayaran.
“Saya tidak peduli dengan apa yang Anda lakukan atau mengapa,” dia memulai, suaranya parau dan muram. “Saya tidak peduli dengan politik Anda. Saya seorang petarung. Saya hanya peduli dengan uang yang Anda bayarkan kepada saya dan orang-orang saya.”
Dia berhenti sejenak.
“Tapi saya ingin tahu, untuk kepuasan pribadi saya: apakah Anda benar-benar memerintahkan orang-orang itu untuk membawa pergi pedang itu?”
Gareth balas menatap pria itu. Ada sesuatu di matanya yang ia kenali dalam dirinya sendiri: itu adalah dingin, kejam, oportunis.
“Dan jika aku melakukannya?: Gareth balas bertanya.
Lord Kutlin balas menatapnya untuk waktu yang lama.
“Tapi kenapa?” tanyanya.
Gareth balas menatapnya, diam.
Mata Kutlin melebar memahaminya.
“Anda tak bisa mencabutnya, maka tak seorang pun bisa?” tanya Kutlin. “Benarkah begitu?” Dia mempertimbangkan hasilnya. “Tapi jika demikian,” Kutlin menambahkan, “pastikan Anda tahu bahwa dengan membawanya pergi akan menurunkan perisainya, membuat kita rentan terhadap serangan.”
Mata Kutlin terbuka lebar.
“Anda ingin kita untuk diserang, begitu? Sesuatu dalam diri Anda ingin Istana Raja hancur,” ujarnya tiba-tiba sadar.
Gareth balas tersenyum.
“Tidak semua tempat,” ujar Gareth perlahan, “ditakdirkan untuk bertahan selamanya.”
BAB LIMA
Gwendolyn berderap bersama dengan rombongan besar prajurit, penasihat, pelayan, anggota dewan, Kesatuan Perak, Legiun, dan setengah Istana Raja, ketika mereka semua sedang dalam perjalanan – satu kota berjalan yang besar – jauh dari Istana Raja. Gwen diliputi dengan emosi. Di sisi lain, dia merasa senang terbebas dari saudaranya Gareth, berada jauh dari jangkauannya, dikelilingi oleh para prajurit terpercaya yang bisa melindungi dirinya, tanpa rasa takut akan pengkhianatannya atau dinikahkan dengan siapa saja. Akhirnya, dia tidak akan perlu waspada setiap saat terjaga karena ketakutan dari salah satu pembunuhnya.
Gwen juga merasa terinspirasi dan rendah hati karena dipilih untuk memerintah, untuk memimpin rombongan besar orang-orang ini. Rombongan besar itu mengikutinya seolah-olah dia adalah semacam pendeta, semua berderap di jalan tiada akhir menuju Silesia. Mereka melihat dirinya sebagai raja mereka – ia bisa melihatnya dalam setiap tatapan mereka – dan melihatnya dengan harapan. Ia merasa bersalah, karena menginginkan salah satu dari saudaranya untuk mendapatkan kemuliaan itu – siapa saja selain dirinya. Namun dia melihat betapa besar harapan yang diberikan orang-orang untuk mempunyai pemimpin yang adil dan pantas, dan itu membuatnya