“Bagaimana jika tak ada di sana?” Reece bertanya.
Thor berpaling dan menatapnya.
“Pedang itu,” Reece menambahkan. “Bagaimana jika tak ada di sana? Atau hilang? Atau hancur? Atau kita tak pernah menemukannya? Bagaimanapun juga, Kekaisaran itu sangat luas.”
“Atau bagaimanakah jika Kekaisaran tahu cara untuk menguasainya?” Elden bertanya dengan suara dalamnya, muncul di samping mereka.
“Bagaimanakah jika kita menemukannya tapi tak bisa membawanya kembali?” tanya Conven.
Mereka berdiri berkumpul di sana, merasa was-was atas apa yang terhampar di hadapan mereka, atas lautan pertanyaan yang tak terjawab. Perjalanan ini adalah kegilaan, Thor tahu itu.
Kegilaan.
BAB EMPAT
Gareth berlari di lantai batu di ruang belajar ayahnya – sebuah ruangan kecil di lantai teratas istana yang disukai ayahnya – dan, sedikit demi sedikit, mengobrak-abriknya.
Gareth menuju rak demi rak, menyentak turun volume-volume berharga, buku kulit kuno yang teralh berada di dalam keluarganya selama beravbad-abad, merobek jilidannya dan merobek-robek halamannya menjadi potongan kecil. Saat ia melemparkannya ke udara, kertas-kertas berjatuhan di atas kepalanya seperti salju, menempel pada tubuhnya dan air mata mengalir di pipinya. Ia telah memutuskan untuk merobek-robek setiap benda di dalam ruangan ini yang disayangi ayahnya, satu buku sekaligus.
Gareth bergegas menuju ke meja di sudut ruangan, meraih yang tersisa di pipa opiumnya, dan dengan tangan gemetar mengisapnya keras-keras, membutuhkan efeknya sekarang juga lebih dari sebelumnya. Ia kecanduan, mengisapnya setiap menit sebisa mungkin, bertekad untuk menghalau bayangan ayahnya yang menghantuinya dalam mimpi-mimpinya, dan sekarang bahkan ketika dia terjaga.
Saat Gareth meletakkan pipa itu, ia melihat ayahnya berdiri di sana, di hadapannya, sebuah mayat yang membusuk. Setiap kali dia melihatnya, mayat itu semakin membusuk, semakin terlihat tulang-belulangnya ketimbang daging; Gareth berpaling dari pandangan mengerikan itu.
Gareth tadinya berusaha menyerang bayangan itu – namun dia telah belajar bahwa itu tak ada gunanya. Jadi sekarang dia hanya memalingkan kepalanya, terus-menerus, selalu berpaling. Bayangan itu senantiasa sama: ayahnya mengenakan sebuah mahkota berkarat, mulutnya terbuka, matanya menatap dirinya dengan mencemooh, mengulurkan satu jarinya, menunjuk menuduh dirinya. Dalam keadaan mengerikan itu, Gareth merasa sisa harinya dapat dihitung, merasa bahwa hanya masalah waktu sampai dia bergabung dengan ayahnya. Ia benci melihat ayahnya lebih dari apa pun. Jika ada satu anugrah yang diberikan padanya saat pembunuhan ayahnya, yaitu bahwa dia tidak perlu melihat wajah ayahnya lagi. Tapi sekarang, ironisnya, ia melihat wajah ayahnya lebih sering dari sebelumnya.
Gareth berbalik dan melemparkan pipa opium pada penampakan itu, berharap bahwa jika ia melemparkannya cukup cepat mungkin akan benar-benar mengenainya.
Tapi pipa itu hanya melayang di udara dan menabrak dinding, hancur.
Ayahnya masih berdiri di sana, dan melotot ke arahnya.
"Obat itu tak akan membantumu," ayahnya memaki.
Gareth tidak tahan lagi. Dia menyerang penampakan itu, mengulurkan tangannya, ingin sekali mencakar wajah ayahnya; tapi seperti biasanya, dia menembus tidak mengenai apa-apa selain udara, dan kali ini terjerembab ke seberang ruangan dan mendarat keras di meja kayu ayahnya, membuatnya menjatuhkannya ke lantai bersama dirinya.
Gareth terguling di lantai, terengah-engah, dan mendongark lalu melihat ia telah melukai lengannya. Darah mengalir di pakaiannya, dan ia melihat dan menyadari bahwa dirinya masih mengenakan baju dalam yang ia pakai untuk tidur selama berhari-hari; sesungguhnya, ia tidak ganti baju selama seminggu sampai hari ini. Ia menatap bayangan dirinya sendiri dan melihat rambutnya awut-awutan; ia terlihat seperti berandalan. Sebagian dari dirinya sulit memercayai bahwa dirinya telah tenggelam begitu rendah. Namun bagian dari dirinya yang lain tidak lagi peduli. Satu-satunya hal yang tersisa di dalam dirinya adalah hasrat membara untuk menghancurkan – untuk menghancurkan bekas-bekas peninggalan ayahnya yang terdahulu. Dia ingin meratakan kastil ini dengan tanah, beserta Istana Raja. Itu akan menjadi balas dendam atas perlakuan yang ia terima sebagai seorang anak. Kenangan-kenangan itu terperangkap di dalam dirinya, seperti sebuah duri yang tak bisa ia cabut.
Pintu ruang belajar ayahnya terbuka lebar, dan segera masuklah salah satu pelayan Gareth, menatapnya dengan ketakutan.
“Baginda,” ujar pelayan itu. “Saya mendengar suara dentaman. Apakah Anda baik-baik saja? Baginda, Anda berdarah!”
Gareth menatap bocah itu dengan kebencian. Gareth berusaha berdiri, untuk mencambuknya, tapi dia terpeleset sesuatu, dan kembali jatuh ke lantai, kehilangan keseimbangan karena efek terakhir opium.
“Baginda, saya akan menolong Anda!”
Bocah itu segera maju dan meraih lengan Gareth, yang sangat kurus, hampir-hampir hanya berupa daging dan tulang.
Namun Gareth masih mempunyai sisa kekuatan dan saat bocah itu menyentuh lengannya, ia mendorongnya, mengirimkannya ke seberang ruangan.
“Jika kau sentuh aku lagi maka aku akan memotong tanganmu,” Gareth mendidih.
Bocah itu mundur ketakutan, dan saat itu juga, pelayan lain memasuki ruangan, ditemani oleh seorang pria tua yang samar-samar Gareth kenali. Entah di mana di dalam ingatannya ia mengenalnya – tapi ia tidak bisa mengigat siapa.
“Baginda,” terdengarlah sebuah suara pria tua yang serak, “kami telah menunggu Anda di ruangan dewan selama setengah hari. Para anggota dewan tak bisa menunggu lebih lama lagi. Mereka mempunyai berita mendesak, dan harus memberitahukannya kepada Anda sebelum hati ini berakhir. Akankah Anda datang?”
Gareth menyipitkan matanya pada pria itu, mencoba mengingatnya. Ia samar-samar ingat dia telah mengabdi kepada ayahnya. Ruangan dewan... Pertemuan... Itu semua berputar-putar di dalam pikirannya.
“Siapakah kau?” Gareth bertanya.
“Baginda, saya Aberthol. Penasihat terpercaya ayah Anda,” ujarnya, melangkah lebih dekat.
Ingatannya perlahan-lahan kembali. Aberthol. Dewan. Pertemuan. Pikiran Gareth berputar, kepalanya sakit. Ia hanya ingin sendirian saja.
“Tinggalkan aku,” tukasnya. “Aku akan ke sana.”
Aberthol mengangguk dan segera keluar dari ruangan itu bersama sang pelayan, menutup pintu di belakang mereka.
Gareth berlutut di sana, memegang kepalanya, mencoba untuk berpikir, untuk mengingat. Itu semua terlalu banyak. Ingatannya mulai kembali sedikit demi sedikit. Perisai telah turun; Kekaisaran menyerang; setengah istananya tersisa; saudarinya telah meninggalkan dirinya; menuju Silesia…Gwendolyn…Itu dia. Itulah apa yang coba ia ingat.
Gwendolyn. Ia membencinya dengan segala kemurkaan yang tak bisa ia gambarkan. Sekarang, lebih dari sebelumnya, ia ingin membunuhnya. Ia harus membunuhnya. Semua masalah dalam dunia ini – itu semua disebabkan olehnya. Ia akan menemukan cara untuk mengembalikannya, bahkan jika ia harus mati dalam melakukannya. Dan kemudian ia akan membunuh saudara kandungnya.
Gareth mulai merasa lebih baik karena pikiran itu.
Dengan susah payah, dia berusaha berdiri dan terhuyung ke seberang ruangan, menabrak pinggir meja saat ia melakukannya. Ketika dia mendekati pintu, ia melihat patung pualam putih ayahnya, sebuah patung yang sangat disukai ayahnya, dan ia mengulurkan tangan, menyambar kepala patung itu dan melemparkannya ke dinding.
Patung itu hancur berkeping-keping, dan untuk untuk pertama kalinya pada hari itu, Gareth tersenyum. Mungkin hari ini tidak begitu buruk.
*
Gareth melangkah dengan angkuh menuju ruangan dewan yang dijaga oleh beberapa pengawal, membanting pintu ek besar itu dengan telapak tangannya, membuat semua orang di dalam ruangan yang riuh itu terkejut atas kehadirannya. Mereka semua segera berdiri tegak.
Biasanya,