Gareth terhuyung melewati ruangan besar itu dalam kekaburan yang ditimbulkan opiumnya, berjalan menuju ke tengah lorong menuju singgasananya, lusinan anggota dewan berdiri saat dia lewat. Peserta majelis itu semakin banyak, dan hari ini energi mereka sangat gelisah, karena semakin banyak orang yang kelihatannya mendengar kabar tentang dikuasainya setengah Istana Raja, dan perisai turun. Sepertinya seolah-olah siapa pun yang tersisa di Istana Raja menuntut jawaban.
Dan tentu saja, Gareth tak punya jawabannya.
Saat Gareth berjalan dengan angkuh menaiki anak tangga berwarna gading menuju singgasana ayahnya, ia melihat, berdiri dengan sabar di belakangnya, Lord Kutlin, pimpinan prajurit bayaran dari pasukan penyerang pribadinya, satu pria yang tersisa di dalam istana yang bisa ia percayai. Bersamanya berdirilah lusinan petarungnya, berdiri di sana dalam diam, tangan-tangan pada pedang mereka, siap untuk bertarung sampai mati demi Gareth. Itu adalah satu hal tersisa yang memberikan rasa nyaman bagi Gareth.
Gareth duduk di singgasananya dan mengamati ruangan itu. Ada begitu banyak wajah, beberapa ia kenali dan banyak yang tidak. Ia tak memercayai satu pun dari mereka. Setiap hari ia menyingkirkan semakin banyak orang dari istananya; ia telah mengirimkan begitu banyak dari mereka ke penjara bawah tanah, dan bahkan kepada algojo. Tak sehari pun berlalu ketika ia tidak memnunuh setidaknya beberapa orang. Ia mengira itu adalah kebijakan yang bagus: itu membuat orang-orang tetap di bawah kakinya, dan mencegah terbentuknya pemberontakan.
Ruangan itu menjadi hening, menatap ke arahnya dengan bingung. Mereka semua nampak takut untuk berbicara. Persis seperti itulah yang ia inginkan. Tak ada yang membuatnya lebih senang dibandingkan menyuntikkan ketakutan kepada bawahannya.
Akhirnya, Aberthol melangkah maju, tongkatnya bergema di batu, dan berdeham.
“Baginda,” dia memulai, suaranya parau, “kami bertahan pada saat kekacauan besar di dalam Istana Raja. Saya tidak tahu kabar apa yang telah Anda dengar: Perisai turun; Gwendolyn telah meninggalkan Istana Raja dan membawa Kolk, Brom, Atme, Kesatuan Perak, Legiun, dan setengah pasukan Anda – bersama dengan setengah Istana Raja. Mereka yang tetap tinggal di sini mengarapkan petunjuk dari Anda, dan untuk mengetahui langkah apa yang selanjutnya dilakukan. Orang-orang menginginkan jawaban, tuanku.”
“Selain itu,” ujar anggota dewan lain yang samar-samar Gareth kenali, “kabar telah menyebar bahwa Ngarai telah diterobos. Rumor itu mengatakan bahwa Andronicus telah menginvasi sis McCloud dari Cincin dengan pasukan sejuta prajuritnya.”
Kesiap marah menyebar di seluruh ruangan itu; lusinan ksatria tangguh saling berbisik, diliputi dengan ketakutan, dan suasana panik menyebar seperti kobaran api.
“Itu tidak boleh terjadi!” seru salah satu prajurit.
“Ya!” anggota dewan bersikeras.
“Maka semua harapan musnah!” teriak prrajurit lain. “Jika McCloud sudah diserbu, selanjutnya Kekaisaran akan datang untuk Istana Raja. Tak mungkin kita bisa menahan mereka.”
“Kita harus mendiskusikan syarat-syarat untuk menyerah, baginda,” ujar Aberthol kepada Gareth.
“Menyerah!?” teriak pria lain. “Kita tidak akan pernah menyerah!”
“Jika tidak,” prajurit lain berteriak, “kita akan dihancurkan. Bagaimana kita bisa bertahan terhadap satu juta pasukan?”
Ruangan itu pecah menjadi gumaman marah, prajurit dan dewan berdebat satu sama lain, semua dalam kekacauan.
Pemimpin dewan menghantamkan tongkat besinya di lantai batu dan berteriak:
“DIAM!”
Perlahan-lahan, ruangan itu hening. Semua orang berpaling dan menatap ke arahnya.
“Itu semua adalah keputusan bagi seorang raja, bukan kita,” salah satu anggota dewan berkata. “Gareth adalah Raja yang sah, dan bukan kita yang membahas syarat-syarat penyerahan diri – atau seandainya tidak menyerah.”
Mereka semua berpaling kepada Gareth.
“Baginda,” ujar Aberthol, kelelahan dalam suaranya, ”bagaimanakah Anda mengajukan cara kita menangani pasukan Kekaisaran?”
Ruangan itu menjadi sangat hening.
Gareth duduk di sana, menatap orang-orang, yang menunggu jawaban. Tapi semakin sulit baginya untuk mempertahankan pikirannya tetap jernih. Ia terus mendengar suara ayahnya di dalam kepalanya, berteriak kepaadanya, seperti saat ia masih kecil. Itu membuatnya gila, dan suara itu tak mau hilang.
Gareth mengulurkan tangan dan menggores senjata kayu singgasananya, lagi dan lagi. Suara kuku jarinya hanyalah satu-satunya suara di dalam ruangan itu.
Para anggota dewan bertukar pandang dengan khawatir.
“Baginda,” anggota dewan lain mengulangi, “jika Anda memilih untuk tidak menyerah, maka kita harus membentengi Istana Raja segera. Kita harus mengamankan semua jalan masuk, semua jalan, semua gerbang. Kita harus memanggil para prajurit, menyiapkan pertahanan. Kita harus bersiap-siap terhadap serangan, menimbun makanan, melindungi rakyat kita. Ada banyak sekali hal yang harus dilakukan. Tolonglah, tuanku. Berikan kami sebuah perintah. Katakan kepada kami apa yang harus dilakukan.
Sekali lagi ruangan itu menjadi sunyi, semua mata tertuju kepada Gareth.
Akhirnya, Gareth mengangkat dagunya dan mendongak.
“Kita tidak akan melawan Kekaisaran,” ia mengumumkan. “Kita juga tidak akan menyerah.”
Semua orang dalam ruangan itu saling berpandangan, bingung.
“Lalu, apa yang kita lakukan, tuanku?” tanya Aberthol.
Gareth berdeham.
“Kita harus membunuh Gwendolyn!” Gareth menegaskan. “Itulah yang penting sekarang.”
Muncullah kesunyian terkejut.
“Gwendolyn?” seorang anggota dewan berseru terkejut saaat ruangan itu pecah menjadi gumaman terkejut.
“Kita akan mengirimkan semua pasukan kita untuk mengejarnya, untuk membantainya dan mereka yang bersamanya sebelum mereka mencapai Silesia,” Gareth mengumumkan.
“Tapi, tuanku, bagaimanakah hal ini bisa membantu kita?” seru seorang anggota dewan. “Jika mengambil risiko untuk menyerangnya, itu hanya akan membuat pasukan kita terlihat. Mereka semua akan dikepung dan dibantai oleh Kekaisaran.”
“Itu juga akan membuat Istana Raja terbuka terhadap serangan!” seru yang lain. “Jika kita tidak akan menyerah, kita harus membentengi Istana Raja segera!”
Gareth berpaling dan melihat ke arah anggota dewan itu, matanya dingin.
“Kita akan menggunakan semua orang yang kita punya untuk membunuh saudariku!” ujarnya suram. “Kita tidak akan meloloskan satu orang pun!”
Ruangan itu menjadi hening saat anggota dewan itu mendorong kursinya, menggesek lantai batu, dan berdiri.
“Saya tidak akan melihat Istana Raja hancur karena obsesi pribadi Anda. Saya, sendirian, tidak mendukung Anda!”
“Saya juga!” gema setengah pria di dalam ruangan itu.
Gareth merasakan dirinya terbakar kemarahan, dan baru akan berdiri ketika tiba-tiba pintu menuju ruangan itu terkuak terbuka dan segera masuklah komandan dari pasukan yang tersisa. Semua mata tertuju padanya. Dia menyeret seseorang dalam lengannya, seorang berandalan dengan rambut licin, brewok, terikat pergelangan tangannya. Dia menyeret pria itu sepanjang jalan menuju ke tengah ruangan dan berhenti di hadapan raja.
“Baginda,” ujar komandan itu dengan dingin. “Dari enam pencuri yang dieksekusi atas pencurian Pedang Takdir, pria inilah yang ketujuh, seseorang yang kabur. Dia menceritakan kisah paling menakjubkan tentang apa yang telah terjadi.
“Bicaralah!” desak komandan itu, menggoyang berandalan itu.
Berandalan melihat dengan gugup