Gareth tidak akan melewatkan kesempatan: ia mengulurkan tangan lainnya dan juga menggenggam gagang pedang itu. Ia menutup matanya, napasnya tidak keruan.
Jika diperkenankan oleh para dewa, izinkan aku untuk mencabut pedang ini. Beri aku pertanda. Tunjukkan padaku bahwa aku adalah Raja. Tunjukkan padaku bahwa aku ditakdirkan untuk berkuasa.
Gareth berdoa dalam kesunyian, menunggu sebuah tanggapan, sebuah pertanda, pada waktu yang tepat. Tetapi detik-detik berlalu, hingga sepuluh detik, seluruh kerajaan menyaksikan, dan ia tidak mendengar apa-apa.
Lalu, tiba-tiba, ia melihat wajah ayahnya, memandang muram kepadanya.
Gareth membuka matanya dengan kengerian, ingin menyingkirkan bayangan itu dari pikirannya. Jantungnya berdegup, dan ia merasa itu adalah sebuah pertanda buruk.
Sekarang atau tidak pernah.
Gareth mencondongkan tubuhnya, dan dengan seluruh kekuatannya, ia mencoba untuk mencabut pedang itu. Ia berusaha dengan seluruh kekuatannya, sampai seluruh tubuhnya terguncang dan mengejang.
Pedang itu tidak bergeming. Itu terasa seperti mencoba untuk memindahkan seluruh dasar bumi.
Gareth mencoba lebih kuat lagi, lebih keras, dan lebih kuat. Akhirnya, ia tampak mengerang dan menjerit.
Beberapa saat kemudian, ia terjatuh.
Pedang itu tidak bergerak seinci pun.
Desah terkejut menyebar ke seluruh ruangan saat ia jatuh ke tanah. Beberapa penasihatnya bergegas untuk membantunya, memeriksa untuk melihat apakah ia baik-baik saja, dan ia dengan kasar mendorong mereka menjauh. Dengan malu, ia berdiri, berusaha berdiri dengan sendirinya.
Merasa dipermalukan, Gareth memandang ke sekeliling pada bawahannya, ingin mengetahui bagaimana mereka akan memandang ia sekarang.
Mereka telah berbalik pergi, telah keluar dari ruangan itu. Gareth bisa melihat kekecewaan dalam wajah mereka, ia bisa melihat bahwa ia hanyalah tontonan gagal lain di mata mereka. Sekarang mereka semua tahu, masing-masing dan semuanya, bahwa ia bukanlah raja sejati mereka. Ia bukan MacGil yang ditakdirkan dan yang terpilih. Ia bukan apa-apa. Hanyalah pangeran lain yang telah merebut tahta.
Gareth merasakan dirinya sendiri terbakar malu. Ia tidak pernah merasa begitu kesepian pada saat itu. Semua yang telah ia angankan, sejak ia masih kanak-kanak, merupakan suatu kebohongan. Hanya khayalan. Ia telah memercayai dongengnya sendiri.
Dan hal itu menghancurkannya.
BAB ENAM
Gareth berlari menuju kamarnya, pikirannya terguncang, terkejut oleh kegagalannya mencabut pedang itu, mencoba untuk memikirkan konsekuensinya. Ia merasa kebas. Ia sulit percaya bahwa ia telah begitu bodoh karena berusaha mencabut pedang itu, Pedang Dinasti, yang tidak seorang MacGil pun dapat mencabut pedang itu selama tujuh generasi. Mengapa ia berpikir bahwa ia akan lebih baik ketimbang para nenek moyangnya? Mengapa ia berasumsi bahwa ia berbeda?
Seharusnya ia telah menyadarinya. Ia seharusnya berhati-hati, tidak pernah boleh meremehkan dirinya. Ia seharusnya merasa cukup hanya dengan memiliki singgasana ayahnya. Mengapa ia harus memaksakannya?
Sekarang semua bawahannya tahu bahwa ia bukan Yang Terpiilh; sekarang kekuasaannya akan rusak oleh hal ini, mereka akan menugaskan lebih banyak pengawal untuk mencurigainya atas kematian ayahnya. Ia melihat bahwa semua orang telah memandangnya secara berbeda, seolah-olah ia adalah hantu yang berjalan, seolah-olah mereka telah mempersiapkan diri mereka sendiri untuk raja selanjutnya yang akan datang.
Yang lebih buruk dari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Gareth merasa tidak yakin terhadap dirinya sendiri. Sepanjang hidupnya, ia telah melihat takdirnya dengan jelas. Ia telah merasa yakin bahwa ia ditakdirkan untuk menggantikan kedudukan ayahnya, untuk berkuasa dan untuk mencabut pedang itu. Keyakinannya telah terguncang sampai ke intinya. Sekarang, ia tidak yakin tentang apa pun.
Yang terburuk, ia tidak bisa berhenti melihat bayangan wajah ayahnya, tepat sebelum ia mencabut pedang itu. Apakah itu adalah balas dendamnya?
"Bravo," muncul sebuah suara yang perlahan dan sinis.
Gareth berbalik, terkejut karena tidak seorang pun yang ada bersamanya dalam kamar ini. Ia segera mengenali suara itu; itu adalah suara yang telah menjadi sangat familiar selama bertahun-tahun, dan Itu adalah suara istrinya.
Helena.
Di sana dia berdiri, jauh di pojok ruangan itu, mengamatinya sembari mengisap pipa opiumnya. Ia menarik napas dalam-dalam, menahannya, lalu secara perlahan mengeluarkannya. Mata Helena merah, dan ia bisamelihat apakah dia telah merokok terlalu lama.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Gareth.
"Bagaimanapun juga ini adalah kamar pengantinku," jawabnya. "Aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan di sini. Aku istrimu dan ratumu. Jangan lupakan itu. Aku berkuasa atas kerajaan ini sebanyak dirimu. Dan setelah kau gagal hari ini, aku tidak akan menggunakan istilah memerintah semudah itu."
Wajah Gareth berubah menjadi merah. Helena selalu punya cara menyerangnya dengan pukulan paling telak, dan pada saat yang tidak menguntungkan. Ia membenci dia lebih dari wanita manapun dalam hidupnya. Ia hampir tidak bisa membayangkan bahwa ia telah setuju untuk menikahinya.
"Begitu menurutmu?" Gareth meludah, berbalik dan berjalan ke arahnya, dengan sangat marah. "Kau lupa bahwa aku adalah Raja, wanita jalang, dan aku bisa membuatmu dipenjara, sama seperti orang lain di kerajaanku, meskipun kau adalah istriku atau bukan."
Dia menertawakannya, mendengus mengejek.
"Lalu apa?" tukasnya. "Sudah memiliki pelayan pemuas seksmu yang baru? Tidak, aku sangat meragukannya. Tidak di dunia licik Gareth. Tidak dalam benak pria yang paling peduli bagaimana anggapan orang ketimbang orang lain."
Gareth berhenti di depannya, menyadari dia memiliki cara melihat seluruh dirinya yang sangat menjengkelkannya. Ia memahami ancamannya dan menyadari bahwa berdebat dengannya bukan hal yang bagus. Jadi ia hanya berdiri di sana, diam, menunggu, dengan tangan terkepal.
"Apakah ini yang kau inginkan?" katanya perlahan, mencoba untuk mengendalikan dirinya untuk tidak melakukan sesuatu yang gegabah. "Kau tidak datang padaku kecuali kau menginginkan sesuatu."
Ia mengeluarkan sebuah tawa mengejek yang kering.
"Aku akan menerimanya apapun itu jika aku menginginkannya. Aku tidak meminta apa-apa darimu. Tetapi lebih untuk memberitahumu sesuatu: seluruh kerajaanmu baru saja menyaksikan kegagalanmu mencabut pedang. Ke mana hal itu pergi meninggalkan kita?"
"Apa yang kau maksudkan dengan kita?" tanya Gareth, bertanya-tanya ke mana arah pembicaraannya.
"Orang-orangmu sekarang tahu apa yang selalu aku ketahui: bahwa kau gagal. Bahwa kau bukanlah Yang Terpilih. Selamat. Paling tidak itu sudah resmi sekarang."
Ia memandangnya dengan marah.
"Ayahku gagal mencabut pedang itu. Hal itu tidak mencegah beliau berkuasa dengan baik sebagai Raja."
"Tetapi hal itu memengaruhi martabat rajanya," tukas Helena. "Setiap saat."
"Jika kau sangat tidak bahagia dengan ketidakmampuanku," gerutu Gareth, "mengapa kau tidak meninggalkan tempat ini? Tinggalkan aku! Tinggalkan olok-olok pernikahan kita. Aku adalah Raja sekarang. Aku tidak lagi membutuhkanmu."
"Aku gembira kau mengatakan hal itu," ujarnya, "karena itu adalah alasan yang tepat atas kedatanganku. Aku ingin kau mengakhiri pernikahan kita secara resmi. Aku menginginkan perceraian. Ada seorang pria yang aku cintai. Seorang pria sejati. Salah satu ksatriamu, sebenarnya. Dia adalah seorang prajurit. Kami sedang jatuh cinta, cinta sejati. Tidak seperti cinta yang pernah aku rasakan. Ceraikan aku, sehingga aku bisa berhenti merahasiakan perselingkuhan ini. Aku ingin cinta kami diketahui orang. Dan aku ingin menikahi dia."
Gareth menatapnya dengan terkejut, merasa ngeri, seolah-olah sebilah belati telah ditancapkan ke dalam dadanya. Mengapa Helena harus muncul? Mengapa sekarang? Itu semua terlalu berat baginya. Ia merasa