Tetapi untuk berapa lama?
"Kerajaan adalah hal yang menyenangkan," muncul sebuah suara.
Gareth memutar tubuhnya dan melihat, yang membuatnya terkejut, Argon berdiri di sana, beberapa kaki jauhnya, mengenakan jubah putih dan tudung serta memegang tongkatnya. Ia menatap Argon, sebuah senyum di ujung bibirnya - namun matanya tidak tersenyum. Kedua matanya bercahaya, menatap tepat ke arahnya, dan mata itu membuat Gareth berada di tepian. Mata itu melihat terlalu banyak.
Ada begitu banyak hal yang ingin Gareth katakan kepada Argon, ia ingin bertanya kepadanya. Tetapi karena saat ini ia telah gagal mencabut pedang itu, ia tidak bisa mengajukan satu pun pertanyaan.
"Mengapa kau tidak memberitahu aku?" rengek Gareth, ada keputusasaan dalam suaranya. "Kau seharusnya bisa memberitahu bahwa aku tidak ditakdirkan untuk mencabutnya." Kau seharusnya bisa menyelamatkan aku dari rasa malu."
"Dan mengapa aku harus melakukan hal itu?" tanya Argon.
Gareth mengerutkan kening.
"Kau bukanlah yang sesungguhnya dinasihatkan untuk menjadi Raja," ujarnya. "Kau pasti telah menasihati ayahku dengan benar. Tetapi tidak denganku."
"Mungkin ia layak mendapatkan nasihat yang benar," jawab Argon.
Kemarahan Gareth semakin dalam. Ia membenci pria itu. Dan ia menyalahkan Argon.
"Aku tidak ingin kau ada di dekatku," ujar Gareth. "Aku tidak tahu mengapa ayahku menyuruhmu, tapi aku tidak ingin kau ada di Istana Raja."
Argon tertawa dengan suara yang menakutkan dan mengerikan.
"Ayahmu tidak menyuruhku, anak bodoh," katanya. "Tidak juga ayahnya yang sebelumnya. Aku ditakdirkan untuk berada di sini. Sesungguhnya, bisa dikatakan bahwa akulah yang menyuruh mereka."
Argon tiba-tiba melangkah maju, dan memandang seolah-olah dia menatap menembus ke jiwa Gareth.
"Apa kau bisa mengatakan hal yang sama?" tanya Argon. "Apa kau ditakdirkan untuk berada di sini?"
Kata-katanya menyerang saraf Gareth, mengirimkan hawa dingin ke sekujur tubuhnya. Itu adalah hal utama yang Gareth tanyakan pada dirinya sendiri. Gareth bertanya-tanya apakah itu merupakan sebuah ancaman.
"Barangsiapa yang berkuasa melalui darah akan memerintah dengan darah," cetus Argon, dan bersama dengan kata-kata itu, ia dengan cepat berbalik lalu mulai berjalan pergi.
"Tunggu!" Gareth berteriak, tidak lagi menginginkan dia pergi, ia membutuhkan jawaban. "Apa yang kau maksudkan dengan hal itu?"
Gareth tidak bisa tidak merasa Argon telah memberinya sebuah pesan, bahwa ia tidak akan berkuasa dalam waktu yang lama. Ia harus tahu apakah itu adalah yang ia maksudkan.
Gareth berlari mengejarnya, tetapi saat ia sampai di dekatnya, tepat di depan matanya, Argon menghilang.
Gareth berpaling, mencari-cari ke sekelilingnya, tetapi ia tidak melihat apa-apa. Ia hanya mendengar gema tawa, di suatu tempat di udara.
“Argon!” teriak Gareth.
Dia berpaling lagi, kemudian mendongak ke arah surga, menjatuhkan diri di atas satu lutut dan menengadahkan kepalanya. Ia menjerit:
“ARGON!”
BAB TUJUH
Erec berjalan bersama sang Adipati, Brandt dan puluhan rombongan Adipati, melalui jalan-jalan berliku Savaria, kerumunan muncul ketika mereka berangkat, menuju rumah si gadis pelayan. Erec bersikeras untuk menemui gadis itu tanpa menunda lagi, dan Adipati sendiri yang ingin memimpin jalan. Dan ke mana sang Adipati pergi, semua orang mengikuti. Erec memandang ke sekeliling pada rombongan besar yang semakin bertambah, dan ia merasa malu, menyadari ia akan tiba di tempat tinggal gadis itu dengan puluhan orang di belakangnya.
Erec tak sanggup memikirkan tentang apapun sejak saat pertama kali ia melihat gadis itu. Siapakah gadis ini, tanyanya dalam hati, yang nampak begitu mulia, namun bekerja sebagai seorang pelayan di istana sang Adipati? Mengapa dia melarikan diri darinya begitu tergesa-gesa? Mengapa demikian, sepanjang hidupnya, dengan semua wanita bangsawan yang telah ia temui, gadis ini adalah satu-satunya yang sanggup mencuri hatinya?
Dengan berada di lingkungan kerajaan sepanjang hidupnya, putra seorang raja itu sendiri, Erec bisa mengetahui bangsawan lain dalam sekejap - dan ia merasakan dari saat ia melihatnya, bahwa dia memiliki kedudukan yang jauh lebih lebih anggun ketimbang yang sedang dia duduki. Ia terbakar oleh rasa penasaran untuk mengetahui siapakah dia, dari mana dia berasal, apa yang dia lakukan di sini. Ia membutuhkan kesempatan lain untuk menetapkan matanya terhadap dia, untuk melihat apakah ia telah membayangkannya atau apakah ia masih merasa seperti sebelumnya.
"Para pelayanku mengatakan dia tinggal di pinggir kota," Adipati menjelaskan, berbicara sembari mereka berjalan. Ketika mereka berjalan, orang-orang di semua sisi jalan membuka daun jendela mereka dan melihat ke bawah, terpana oleh kehadiran Adipati dan rombongannya di jalan umum.
"Rupanya, dia adalah pelayan seorang pemilik penginapan. Tidak seorang pun tahu asalnya, dari mana dia datang. Yang mereka ketahui adalah dia tiba di kota kami suatu hari, dan menjadi pelayan yang terikat kontrak dengan pemilik penginapan ini. Masa lalunya, sepertinya, adalah sebuah misteri."
Mereka semua menuruni sisi jalan lain, bebatuan di bawah mereka menjadi lebih bengkok, tempat tinggal kecil berdekatan satu sama lainnya dan lebih bobrok saat mereka masuk. Adipati berdeham.
"Aku mengambilnya sebagai seorang pelayan di istanaku pada acara-acara khusus. Dia pendiam, terus menyendiri. Tidak seorang pun yang tahu banyak tentang dia. Erec," ujar Adipati, akhirnya berpaling kepada Erec, meletakkan sebelah tangan di pergelangan tangan Erec, "apakah kau yakin dengan hal ini? Wanita ini, siapa pun dia, hanyalah rakyat jelata. Kau bisa mendapatkan pilihanmu terhadap wanita manapun di kerajaan."
Erec menatap kepadanya dengan intensitas yang sama.
"Aku harus menemui gadis ini lagi. Aku tidak peduli siapa dia."
Adipati menggelengkan kepalanya atas ketidaksetujuannya, dan mereka semua terus berjalan, berbelok di jalan demi jalan, melewati lorong-lorong sempit yang berliku. Ketika mereka berjalan, lingkungan daerah sekitar Savaria menjadi lebih kumuh, jalanan dipenuhi dengan para pemabuk, bersama dengan sampah, ayam dan anjing liar yang berkeliaran. Mereka melewati kedai demi kedai, jeritan pelanggan menyeruak sampai ke jalan. Beberapa pemabuk terhuyung di depan mereka, dan saat malam mulai datang, jalan mulai diterangi oleh obor-obor.
"Beri jalan bagi sang Adipati!" teriak pemimpin pelayannya, maju dengan cepat dan akhirnya mendorong para pemabuk ke sisi jalan. Di tepi jalan semua orang kumal itu menepi dan melihat, takjub ketika Sang Adipati melintas bersama Erec di sampingnya.
Akhirnya, mereka tiba di penginapan kecil yang sederhana, dibangun dengan batu plesteran, dengan atap batu tulis yang miring. Tampaknya penginapan itu mampu menampung sekitar lima puluh orang di kedai yang berada di bagian bawah, dengan beberapa kamar untuk menginap di bagian atas. Pintu depannya sudah tak lurus lagi, satu jendelanya sudah rusak, dan lilin di bagian depan tampak tergantung dengan malas, nyalanya berkedip-kedip dan lilinnya terlalu kecil. Teriakan para pemabuk menyeruak keluar jendela, ketika mereka semua berhenti di depan sebuah pintu.
Bagaimana bisa seorang gadis cantik seperti dia bekerja di sebuah tempat seperti ini? Erec bertanya-tanya, merasa ngeri, ketika ia mendengar teriakan dan cemoohan dari dalam. Hatinya hancur ketika ia memikirkan hal itu, ketika bayangan penghinaan yang harus dia terima di tempat seperti ini. Tidak adil, pikirnya. Ia merasa bertekad untuk menyelamatkan dia dari hal itu.
"Mengapa kau datang ke tempat yang paling buruk untuk memilih seorang pengantin?' tanya Adipati sambil berpaling kepada Erec.
Brandt menoleh kepadanya juga.
"Kesempatan terakhir, temanku," ujar Brandt. "Ada sebuah kastil penuh dengan wanita bangsawan yang menunggu kau kembali ke sana."
Tetapi Erec menggelengkan kepalanya, ia sudah menetapkan hati.
"Buka pintu," perintahnya.