Gumaman yang nyaring terdengar diselruh ruangan vampire itu.
“Sebelumnya saya sudah mendapatkan pedang itu,” dia melanjutkan,” Lalu Kyle merebutnya, dia pergi meninggalkan gereja, dan saya tidak dapat melakukan apa-apa. Saya mencoba untuk mencarinya, namun dia telah pergi jauh. Pedang itu sekarang ada ditangannya.”
Gumaman yang lebih nyaring menghiasi seluruh ruangan. Kegelisahan dapat terlihat pada ruangan itu.
“DIAM!” teriak sebuah suara
Perlahan gumaman itu berhenti.
“Jadi” Rexius memulai,” setelah semuanya, kamu membiarkan Kyle mengambil pedang itu. Kamu memberikan pedang itu kepadanya.”
Samantha tahu yang sebenarnya, namun dia tidak dapat menjelaskannya. Dia harus mengatakan sesuatu untuk pembelaannya. “ yang mulia, tidak ada yang dapat saya lakukan-“
Rex menyelanya dengan menggelengkan kepalanya. Samantha mengetahui gesture tersebut. Yang berarti sesuatu yang buruk akan terjadi.
“ Terimakasih untukmu, sekarang saya harus mempersiapkan dua perang. Perang menyedihkan melawan manusia, dan sekarang perang melawan Kyle.”
Keheningan menyelimuti ruangan itu, dan Samantha menyadari bahwa hukumannya sudah dekat. Dia sudah siap untuk menerimanya. Dia bertahan karena ingatannya akan Sam, dan fakta bahwa sebenarnya mereka tidak dapat benar-benar membunuhnya. Mereka tidak akan pernah melakukan itu. Akan ada kehidupan setelah ini. Sesuatu yang hidup, dan tentunya bersama dengan Sam.
“aku sudah menyiapkan hukuman untukmu,” Rexius berkata perlahan,memecahkan dengan senyum perlahan.
Samantha mendengar kedua pintu dibelakangnya terbuka, dan dia menoleh untuk melihatnya.
Jantungnya berhenti.
Seseorang diseret oleh dua orang vampire, kaki dan tangannya dirantai. Itu adalah Sam.
Mereka telah menemukannya.
Mulutnya disumpal, dia tidak dapat bersuara walaupun dia telah mencoba untuk mengeluarkan bunyi, dia tidak dapat. Matanya terbuka dengan terkejut dan ketakutan. Mereka enyeretnya ke sebelah ruangan, rantai berderik, mereka menahannya dengan keras, memaksanya untuk melihat.
“sepertinya kamu tidak hanya kehilangan pedang, namun juga timbullnya perasaan terhadap manusia, mencederai semua aturan yang ada pada ras kita,” Rexius berkata. “ hukumanmu, Samantha, untuk melihat penderitaan orang yang engkau sayangi. Aku dapat merasakan bahwa yang kamu sayangi bukanlah dirimu. Namun pria ini. Manusia, kerdil dan menyedihkan ini. Baiklah,” dia berkata, mendekat dan tersenyum. “begitulah kamu akan dihukum. Kami akan memberikan pria ini esakitan yang luar biasa.”
Jantung Samantha berdegup kencang. Ini tidak seperti yang dia perkirakan, dan sesuatu yang tidak mungkin ia biarkan. Bagaimanapun.
Dia melakukan sesuatu, melewati penjaga-penjaga Sam. Dia mendekati salah seorang, menendangnya keras pada dadanya. Dan dia terpental jauh kebelakang.
Namun sebelum dia sempat menyerang vampire lainnya, beberapa vampire mendekkatinya, memegangnya, menjepitnya. Dia meronta sekuat tenaganya, namun jumlah mereka terlalu banyak, dan dia tidak dapat menandingi kekuatan para vampire itu sekaligus.
Dia melihat takberdaya kepada beberapa vampire yang menyeret Sam, menuju ketengah ruangan. Mereka menaruhnya ditengah ruangan- titik yang bersebrangan dengan hukuman asam ioric. Pada vampire, hukuman itu sangat menyakitkan. Menghantui sepanjang hidup.
Pada manusia, walaupun, kesakitannya tidak dapat diperkirakan, dan hukuman itu dapat berarti, kematian yang mengerikan. Mereka membawa Sam menuju proses eksekusi. Dan mereka memaksa Samantha untuk melihatnya.
Rexius tersenyum semakin lebar, saat rantai Sam dilepaskan. Saat Rexius menganggukan kepalanya, salah satu pelayannya merobek plester pada mulutnya.
Sam segera melihat kepada Samantha, ketakutan terpancar dari matanya.
“Samantha!” ia berteriak. “ Tolong, selamatkan aku!”
Samantha, menyalahkan dirinya, airmatanya keluar. Tidak ada, sesungguhnya tidak ada yang dapat ia lakukan.
Enam vampire mendorong sebuah panci besar terbuat dari besi, mengepul dan mendidih, diletakan diatas tangga. Mereka siap pada posisinya, tepat diatas kepala Sam.
Sam melihat keatas.
Dan yang ia lihat terakhir kali adalah cairan panas dan medidih jatuh mengenai wajahnya.
EMPAT
Caitlin sedang berlari, di kebun bunga setinggi pinggangnya, dan saat dia berlari dia memotong melewati jalan setapak. Matahari bersinar kemerahan seperti bola yang besar diatas cakrawala.
Berdiri membelakangi matahari, pada cakrawala, adalah ayahnya. Atau setidaknya, bayangan ayahnya. Gambaranya tidak begitu jelas, namun dia tahu bahwa itu adalah ayahnya.
Saat Caitlin lari dan berlari, dengan putus asa hanya untuk bertemu dengannya, untuk memeluknya, matahari pun tenggelam dengan cepat, sangat cepat. Semuanya terjadi begitu cepat, hanya hitungan detik, sang matahari tenggelam dengan sempurna.
Ia menemukan dirinya berlari melewati lapangan di tengah malam. Ayahnya masih berada disana, menunggunya. Dia merasa ayahnya menginginkannya untuk berlari dengan cepat, dan dia ingin memeluknya. Namun kedua kakinya tidakk dapat berlari lebih cepat lagi, sekuat apapun dia mencoba, malah membuatnya menjadi semakin jauh.
Saat dia berlari, bulan tiba-tiba terbit pada cakrawala- bulan yang besar, dan berwarna merah, menghiasi seluruh langit. Caitlin dapat melihat semuanya secara jelas, lengkungannya, lubagnya. Semuaya sangat jelas. Ayahnya berdiri, dihiasi baying-bayangnya, dan saat dia ingin berlari lebih cepat lagi, dia seperti berlari menuju ke bulan yang sangat besar itu.
Semuanya tidak berjalan dengan baik. Tiba-tiba kedua kakinya tidak dapat digerakan sama sekali. Ia mencoba melihat kebawah dan dia melihat tanaman telah melilit pergelangan kakinya, dan tanaman itu semakin menjalar. Tanaman itu sangat tebal dan kuat, sebentar lagi dia tidak akan bias bergerak.
Saat dia melihat, seekor ular besar merayap menuju dirinya, melewati lapangan tersebut. Dia mencoba melawan, untuk melarikan diri, namun usahanya sia-sia. Yang bias dia lakukan hanyalah melihat ular itu menghampirinya. Saat ular itu mendekat, ular tersebut melompat menerjang menuju tenggorokannya. Dia berbalik dan berteriak, ia merasakan taring panjang ular tersebut menusuk tenggorokannya. Sakitnya sangat mengerikan.
Caitlin tiba-tiba bangun, duduk diatas tempat tidurnya dan bernafas dengan sangat berat. Dia meraba tenggorokannya da merasakan dua bekas luka disana. Lalu, dia merasa bingung akan mimpinya yang terasa sangat nyata, lalu dia mencari ular itu di kamarnya. Namun ular itu tidak ada.
Dia mengusa tenggorokannya,. Sakitnya masih terasa, namun tidak sesakit seperti yang dimimpi. Dia menarik nafas dalam.
Caitlin diselimuti dengan keringat dingin, jantungnya masih berdeup kencang. Dia mengusap wajah dan pelipisnya, dia dapat merasakan dinginnya, rambut basahnya menempel. Sudah berapa lama dia tidak mandi? Mencuci rambutnya? Dia tidak dapat mengingatnya. Sudah berapa lama dia terbaring disana? Dan diamana dia sebenarnya?
Caitlin melihat keseluruh ruangan. Ruangan itu merupakan ruangan yang sama dari beberapa waktu yang lalu- apakah itu dalam mimpi, atau dia pernah ada diruangan ini sebelumnya? Ruanganitu seluruhnya terbuat dari batu, terdapat sebuah ruangan, kubah jendela, yang membuatnya dapat melihat langit malam, dan indahnya bulan purnama, cahayanya masuk kedalam.
Dia duduk diujung tempat tidurnya dan mengusap dahinya, mencoba untuk mengingat. Seperti yang ia lakukan, dia merasakan sakit yang amat sangat didalam dirinya. Dia meraba kebawah, dan merasakan bekas luka. Dia mencoba mengingatnya dari mana bekas luka itu ia dapatkan. Apakah seseorang menyerangnya?
Caitlin berpikir keras, dengan lambat, namun pasti, deteilnya pun kembali. Boston. Jejak kebebasan, kapel kerajaan. Pedang. Lalu penyerangan. Lalu…
Caleb.