Hak cipta © 2011 oleh Morgan Rice
Semua hak cipta dilindungi Undang-Undang. Kecuali diizinkan menurut U.S. Copyright Act of 1976 (UU Hak Cipta tahun 1976), tidak ada bagian dari buku ini yang bisa direproduksi, didistribusikan, atau dipindahtangankan dalam bentuk apa pun atau dengan maksud apa pun, atau disimpan dalam database atau sistem pencarian, tanpa izin sebelumnya dari penulis.
eBuku ini terlisensi untuk hiburan pribadi Anda saja. eBuku ini tidak boleh dijual kembali atau diberikan kepada orang lain. Jika Anda ingin membagi buku ini dengan orang lain, silakan membeli salinan tambahan bagi tiap penerima. Jika Anda membaca buku ini dan tidak membelinya, atau tidak dibeli hanya untuk Anda gunakan, maka silakan mengembalikannya dan membeli salinan milik Anda sendiri. Terima kasih telah menghargai kerja keras penulis ini.
Ini adalah sebuah karya fiksi. Nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat/lokasi, acara, dan insiden adalah hasil karya imajinasi penulis atau digunakan secara fiksi. Setiap kemiripan dengan orang-orang yang sebenarnya, hidup atau mati, adalah sepenuhnya kebetulan.
FAKTA:
Di Salem, pada tahun 1692, selusin remaja wanita, dikenal sebagai "the afflicted (yang tertindas)," mengalami penyakit misterius yang membuat mereka menjadi histeris dan masing-masing berteriak bahwa dukun setempat telah menyiksa mereka. Peristiwa ini menyebabkan serangkaian penelitian dukun Salem.
Penyakit misterius yang telah menggerogoti para remaja wanita ini tidak pernah, hingga saat ini, dapat dijelaskan.
"Malam ini, dia bermimpi melihat patungku,
Yang menyerupai sebuah air mancur dengan ratusan seringai,
Yang mengalirkan darah segar: dan banyak orang Roma yang bernafsu
Datang dengan tersenyum, dan membasuh tangan mereka di dalamnya:
Dan karena inilah dia menganggapnya sebagai peringatan, dan pertanda,
Dan kejahatan semakin mendekat..."
--William Shakespeare, Julius Caesar
SATU
Lembah Hudson, New York
(Masa Kini)
Untuk pertama kalinya dalam minggu ini, Caitlin Paine merasa tenang. Caitlin duduk dengan nyaman di lantai lumbung kecil, dia dia bersandar di atas jerami, dan menghela napas. Api kecil berkobar di perapian batu sekitar sepuluh kaki jauhnya; dia baru saja menambahkan sebatang kayu, dan merasa tenang oleh suara keretakan kayu. Bulan Maret masih belum berakhir, dan malam ini terasa paling dingin. Jendela yang ada jauh di dinding menampakkan sebuah pemandangan langit malam, dan dia bisa melihat salju masih berjatuhan.
lumbung itu tanpa pemanas, tapi dia duduk cukup dekat dengan perapian untuk menghangatkan dirinya. Dia merasa sangat nyaman, dan merasakan matanya semakin berat. Bau dari perapian menyelubungi lumbung itu, dan ketika dia semakin merebahkan badannya, dia bisa merasakan ketegangan mulai meninggalkan bahu dan kakinya.
Tentu saja, alasan sesungguhnya dari rasa damainya, yang dia sadari, bukanlah dari perapian, atau jerami, atau bahkan naungan lumbung itu. Itu adalah karena dia. Caleb. Ia duduk dan memandangi Caleb.
Dia berbaring di hadapannya, sekitar lima belas kaki jauhnya, masih begitu sempurna. Dia tertidur, dan ia mengambil kesempatan itu untuk mengamati wajahnya, sosok yang sempurna, kulitnya yang pucat dan seperti kaca. Ia tidak pernah melihat sosok yang terpahat begitu sempurna. Sosoknya nyata, seperti memandangi sebuah patung. Ia tidak bisa memahami bagaimana dia telah hidup selama 3.000 tahun. Caitlin, yang berusia 18 tahun, sudah nampak lebih tua darinya.
Tapi semua itu lebih dari sosoknya. Ada suatu suasananya dirinya, sebuah energi lembut yang dia pancarkan. Suatu suasana yang sangat damai. Ketika ia ada di dekatnya, ia tahu bahwa semua hal akan baik-baik saja.
Ia sangat gembira dia masih ada di sana, masih bersama dengan dirinya. Dan ia membiarkan dirinya sendiri berharap bahwa mereka akan tetap bersama. Namun ketika memikirkannya, ia memaki dirinya sendiri, mengetahui bahwa ia menempatkan dirinya dalam masalah. Laki-laki memang seperti itu, ia tahu, jangan menempel terus. Itu bukanlah seperti sifat mereka.
Caleb tidur dengan nyenyak, dia mengambil napas pendek, yang membuat Caitlin sulit menyimpulkan apakah dia benar-benar tertidur. Tadi dia harus pergi, untuk bersantap, katanya. Dia telah kembali dengan lebih tenang, membawa setumpuk kayu, dan dia menemukan sebuah cara untuk menutup pintu lumbung supaya salju tidak masuk. Dia telah menyalakan api, dan sekarang dia telah tertidur, sedangkan ia tetap terjaga.
Ia mengulurkan tangan dan meneguk segelas anggur merah, dan merasakan cairan hangat itu membuatnya tenang secara perlahan. Ia menemukan botol anggur itu dalam sebuah peti tersembunyi, di bawah tumpukan jerami; ia ingat ketika adiknya, Sam menyembunyikannya di sana, beberapa bulan yang lalu, dan untuk iseng saja. Ia tidak pernah minum, tapi ia tidak melihat ada bahaya dalam beberapa tegukan, khususnya setelah apa yang ia lalui.
Ia memegang buku hariannya di atas pangkuan, membuka-buka halaman, sebuah pena di satu tangan dan gelas di tangan lainnya. Ia telah memegangnya selama 20 menit. Ia tidak punya gagasan dari mana ia harus memulainya. Ia tidak penah mengalami kesulitan menulis buku harian sebelumnya, tapi kali ini berbeda. Peristiwa-peristiwa pada beberapa hari terakhir ini berlangsung begitu dramatis, terlalu sulit untuk dipahami. Ini adalah pertama kalinya ia duduk tenang dan santai. Pertama kalinya ia merasa sangat aman.
Ia telah memutuskan bahwa yang terbaik adalah memulai dari awal. Apa saja yang telah terjadi. Mengapa ia berada di sini. Siapakah dirinya. Ia harus memahaminya. Ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa menjawab semua pertanyaan itu.
*
Sampai minggu kemarin, hidupnya normal. Aku sesungguhnya mulai menyukai Oakville. Kemudian suatu hari Ibu tiba-tiba mengumumkan kami akan pindah. Lagi. Hidup berubah total, seperti yang selalu terjadi dengannya.
Kali ini adalah yang terburuk. Itu bukanlah daerah pinggiran lainnya. Tempat itu adalah New York. Sebagaimana di perkotaan. Sekolah umum dan hidup di antara beton. Dan sebuah lingkungan yang berbahaya.
Sam juga merasa jengkel. Kami berbincang-bincang tentang tidak melanjutkan hal itu, tentang kepergian. Namun sesungguhnya adalah, kami tidak punya tempat lagi untuk pergi.
Jadi kami pergi bersama. Kami berdua bersumpah secara diam-diam bahwa jika kami tidak menyukainya, kami akan pergi. Mencari suatu tempat. Di mana saja. Mungkin bahkan mencoba mencari Ayah lagi, meski kami berdua tahu bahwa hal itu tidak akan terjadi.
Dan kemudian semua hal itu terjadi. Begitu cepat. Tubuhku. Berubah. Menjelma. Aku masih tidak tahu apa yang terjadi, atau menjadi siapa aku ini. Tapi aku tahu, aku bukan orang yang sama lagi.
Aku ingat malam paling menentukan ketika semua