Kyra merasa jantungnya berdegup kencang. Tak sadar, tangannya menggenggam erat busur miliknya karena suasana makin memanas. Seberapa pun ia menginginkan pertempuran dan menginginkan kebebasan, ia juga tahu bahwa orang-orang ini tak sanggup menanggung murka Tuan Gubernur; bahkan jika entah bagaimana mereka mampu mengalahkan para Pasukan Pengawal ini, Kerajaan Pandesia telah siap di belakang Pasukan Pengawal. Pandesia sanggup mengumpulkan pasukannya yang luar biasa banyak.
Namun di saat yang sama, Kyra sangat bangga pada Anvin yang berani menghadapi mereka. Akhirnya, ada juga seseorang yang berani menghadapinya.
Pemimpin Pasukan itu memandang Anvin dengan marah.
"Beraninya kau membantah Tuan Gubernur?" tanyanya.
Anvin bergeming.
"Babi hutan ini milik kami—tak seorang pun sudi memberikannya padamu," kata Anvin.
"Tadinya milik kalian, tapi sekarang ini milik kami," sanggah Pemimpin Pasukan Pengawal. Ia memandang anak buahnya. "Ambil babi hutan ini," perintahnya.
Para Pasukan Pengawal maju, dan pada saat yang sama para pasukan ayahnya pun maju, mendukung Anvin dan Vidar, menghalangi jalan Pasukan Pengawal, dengan senjata yang siap terhunus.
Ketegangan makin memuncak, Kyra menggenggam erat-erat busurnya hingga buku-buku jarinya berwarna putih; ia berdiri di situ dengan perasaan yang amat ngeri, ia merasa dirinyalah yang mengakibatkan masalah ini timbul, karena dialah yang membunuh babi hutan itu. Firasatnya berkata bahwa akan terjadi hal yang buruk, dan ia menyumpahi kedua kakaknya yang membawa pulang binatang terkutuk itu ke desa, terlebih saat ini adalah Bulan Musim Dingin. Keanehan-keanehan selalu muncul pada saat pesta perayaan; itulah saat-saat mistis di mana konon arwah orang mati akan menyeberang ke alam lain. Mengapa pula kedua kakaknya ini memanggil arwah-arwah itu dengan cara demikian?
Saat kedua pemimpin pasukan itu saling berhadapan, anak buah ayahnya telah bersiap menghunus pedang, dan pertumpahan darah akan pecah sebentar lagi; tiba-tiba sebuah suara berwibawa terpekik di udara, memecah kesunyian.
"Buruan ini milik gadis itu!" demikian kata suara itu.
Suara itu lantang dan mantap, sebuah suara yang mampu mengalihkan perhatian, suara yang Kyra kagumi dan hormati lebih dari apa pun di dunia ini; itulah suara ayahnya, Komandan Duncan.
Semua mata tertuju padanya saat sang ayah tiba, lalu kerumunan orang banyak menyingkir dengan segan, memberinya jalan. Ia berdiri di situ dengan badannya yang tegap, dua kali lebih tinggi dari semua orang di situ, dengan dada yang jauh lebih bidang, dengan jenggot coklatnya yang lebat dan rambut panjang kecoklatan, dihiasi oleh semburat abu-abu dari ubannya; bahunya berbalut mantel bulu dan dua buah pedang panjang tersandang di pinggangnya, serta sebuah tombak tersampir di punggungnya. Baju yang dikenakannya adalah zirah hitam Volis, dengan ukiran naga di bagian dadanya, yang menjadi lambang desanya. Pedangnya terasah oleh begitu banyak pertempuran, dan ia sendiri memancarkan pengalaman yang mumpuni. Ia adalah seseorang yang pantas ditakuti, seorang pria yang layak dikagumi, seorang pria yang terkenal adil dan bijaksana. Ia adalah sosok yang dicintai, dan yang paling penting, ia adalah seseorang yang terhormat.
"Babi hutan itu milik Kyra," ulangnya, melihat sekilas penuh sanggahan pada kedua kakaknya, lalu berpaling dan menatap Kyra; tak dipedulikannya para Pasukan Pengawal di situ. "Biarlah ia yang menentukan nasibnya."
Kyra terkesiap oleh kata-kata ayahnya. Ia tak pernah menduga kata-kata itu, tak pernah pula ia menduga akan diberi tanggung jawab seperti ini, sehingga ia harus membuat keputusan yang sulit. Mereka berdua tahu bahwa ini lebih dari sekadar keputusan soal seekor babi hutan, namun ini soal nasib rakyat mereka.
Kedua belah pasukan yang tegang berjajar berhadapan, semuanya siap menghunus pedang; dan saat Kyra memandangi wajah-wajah itu, mereka semua berpaling padanya, semua menunggu jawabannya; ia mengerti benar, pilihan yang akan ia buat, kata-kata yang akan ia ucapkan, akan menjadi kata-kata paling penting yang pernah keluar dari mulutnya.
BAB EMPAT
Merk menyusuri jalan setapak di dalam hutan dengan perlahan, ia tengah menuju ke Whitewood, sembari merenungi hidupnya. Empat puluh satu tahun dalam hidupnya adalah masa yang berat; ia belum pernah meluangkan waktu untuk berjalan menyusuri hutan, demi mengagumi keindahan di sekitarnya. Ia memandang dedaunan putih yang bergemerisik di bawah kakinya, ditingkahi bunyi tongkatnya saat ia menapakkak kakinya di tanah hutan yang lunak; ia memandang ke depan sembari berjalan, menikmati keindahan pepohonan Aesop, dengan daun-daun putihnya dan cabang-cabang merah merona, gemerlapan tertimpa sinar matahari pagi. Daun-daun gugur menimpanya bagai salju yang turun, dan untuk kali pertama dalam hidupnya, ia merasakan suasana damai yang sejati.
Dengan tinggi badan dan posturnya yang sedang, rambutnya yang hitam legam, wajah yang lama tak bercukur, rahang lebar, tulang pipi yang panjang dan menonjol, serta mata hitam yang lebar dengan kantung mata hitam di bawahnya, Merk selalu terlihat seperti orang yang kurang tidur. Dan memang itulah yang ia rasakan. Kecuali hari ini. Hari ini, ia akhirnya merasa dapat beristirahat. Di sini, di Ur, di ujung timur laut Escalon, salju tidak turun. Angin hangat berembus dari laut, namun saat angin bertiup ke barat, cuaca menjadi lebih hangat dan bunga-bunga beraneka warna akan mekar. Cuaca seperti itu membuat Merk bisa singgah hanya dengan mengenakan sepotong jubah, tanpa harus menghangatkan diri dari angin yang dingin, seperti kebanyakan orang di Escalon. Ia masih membiasakan diri mengenakan jubah untuk menggantikan baju zirah, menggunakan tongkat sebagai pengganti pedang, dan menumpukan tongkatnya pada dedaunan alih-alih menusuk lawannya dengan pisau belati. Ini semua adalah sesuatu yang baru baginya. Ia tengah mencoba seperti apa rasanya menjadi seseorang yang ia dambakan. Rasanya sangat damai—namun ganjil. Seolah ia sedang berpura-pura menjadi orang lain.
Itu semua lantaran Merk bukanlah seorang pengelana, dan bukan seorang pertapa—pun ia bukanlah seorang pecinta damai. Dalam dirinya, mengalir darah seorang prajurit. Dan ia bukanlah prajurit sembarangan; ia adalah seseorang yang bertempur dengan caranya sendiri, dan ia tak pernah kalah. Ia adalah seorang pria yang tak takut menghadapi pertempuran, entah itu pertempuran dengan tombak di atas kudanya atau perkelahian di kedai minum yang sering ia kunjungi. Seperti sebutan orang-orang, ia adalah seorang prajurit bayaran. Seorang pembunuh. Ahli pedang bayaran. Ada banyak julukan untuk dirinya, termasuk julukan yang kurang ajar; namun Merk tak ambil pusing soal julukan, pun tak peduli akan anggapan orang atas dirinya. Yang ia pedulikan hanyalah bahwa ia merupakan salah satu petarung terbaik.
Sesuai dengan pekerjaannya, Merk memiliki banyak nama yang dapat ia ganti-ganti sesukanya. Ia tak suka dengan nama pemberian ayahnya—dan sesungguhnya ia pun tak menyukai ayahnya—, maka ia tak akan menjalani hidup cukup dengan satu nama yang diberikan orang padanya. Merk adalah orang yang paling sering berganti nama, dan ia menyukai nama yang dipakainya saat ini. Ia tak peduli orang lain akan memanggilnya dengan nama yang mana. Hanya dua hal yang ia pedulikan dalam hidup ini, yaitu: menemukan tempat yang tepat untuk menancapkan belatinya, dan memastikan bahwa orang yang menyewanya membayar upahnya dengan emas, dalam jumlah yang besar.
Sejak kecil Merk sadar bahwa ia memiliki bakat alami, yang membuatnya selalu lebih unggul dari orang lain dalam segala hal. Saudara-saudara laki-lakinya, sama seperti ayah dan moyangnya yang termashyur, adalah para bangsawan luhur dan terhormat, dalam balutan baju zirah, berlapis besi terbaik, menunggang kuda, mengibarkan panji-panji kebesaran dengan rambut yang indah serta memenangkan perlombaan, lantas para gadis terpesona, menaburkan bunga di bawah kaki mereka. Mereka amat bangga pada dirinya sendiri.
Toh, Merk tak suka dengan segala kemegahan dan kegemerlapan itu. Para ksatria itu tampak kaku saat bertarung, sangat tak cakap, dan Merk sama sekali tak menaruh hormat pada mereka. Pun ia tak butuh pengakuan, lencana atau panji-panji atau jubah atau senjata seperti yang didambakan oleh para ksatria itu. Barang-barang semacam itu hanyalah untuk mereka yang tak punya sesuatu yang paling penting, yaitu: kemampuan untuk membunuh dengan cepat, tepat dan tenang. Dalam benaknya, tak ada lagi hal yang lebih penting.
Sewaktu kecil, ada beberapa kawannya