"Berhasil membunuh musuh?" terdengar suara mengejek.
Kyra membalikkan badan dan melihat Maltren di atas kudanya, ia tertawa mencemooh Kyra, sebelum berlalu lagi. Kyra naik pitam, berharap ada seseorang yang menyadarkan Maltren akan kemampuannya sendiri.
Kyra beristirahat sejenak saat melihat para prajurit itu selesai berlatih dengan tombaknya, lalu mereka turun dari kuda dan berkumpul dalam lingkaran di tengah lapangan terbuka. Pelayan latihan berlari maju dan memberikan pedang-pedang latih yang terbuat dari kayu ek keras, beratnya nyaris sama dengan pedang baja. Kyra tetap berdiri di kejauhan; jantungnya berdegup kencang saat melihat para prajurit itu saling berlatih berpasangan; ia sangat ingin ikut berlatih bersama mereka.
Sebelum mulai latihan itu, Anvin berjalan ke tengah lingkaran dan memandang mereka semua.
"Di hari besar ini, kita akan berlatih untuk memperebutkan hadiah istimewa," kata Anvin. "Para pemenang akan mendapatkan jatah makanan terbanyak dalam pesta!"
Teriakan girang pun bersahutan, lalu mereka mulai berlatih berpasang-pasangan, bunyi pedang kayu yang saling beradu terdengar nyaring, seiring dengan langkah mereka merangsek maju dan mundur teratur.
Latihan berpasangan itu diselingi oleh tiupan terompet yang nyaring, yang dibunyikan setiap kali seorang lawan latihan terkena pukulan pedang kayu, lalu ia yang kalah harus menyingkir ke tepi arena. Terompet itu berbunyi berulang kali, dan lambat laun jumlah prajurit yang tersisa pun semakin berkurang; sebagian besar dari mereka kini berdiri di tepi arena, menyaksikan kawannya yang masih bertanding.
Kyra pun berdiri di sisi arena bersama mereka, gemas ingin ikut berlatih, meskipun ia tentu takkan diizinkan. Namun hari ini adalah hari kelahirannya, usianya telah menginjak lima belas tahun, dan ia merasa dirinya telah siap. Ia merasa inilah saat baginya untuk unjuk kemampuan.
"Izinkan aku ikut latihan!" ia memohon pada Anvin yang berdiri di dekatnya sambil menyaksikan latihan itu.
Anvin menggelengkan kepala tanpa sedikitpun memalingkan pandangan dari arena latihan.
"Hari ini usiaku genap lima belas tahun!" Kyra bersikeras. "Izinkan aku bertanding!"
Anvin melirik sekilas padanya dengan ragu.
"Ini adalah arena latihan untuk para pria," sahut Maltren yang berdiri di tepi arena setelah kalah bertanding. "Bukan untuk gadis kecil. Kau duduk dan menonton saja bersama pelayan latihan, dan bawakan air jika kami memintanya."
Kyra meradang.
"Apakah kau takut dikalahkan oleh seorang gadis?" balas Kyra yang berdiri penuh amarah. Ia adalah anak perempuan ayahnya, dan tak ada yang boleh bicara sembarangan padanya seperti itu.
Beberapa prajurit terkekeh mendengarnya, dan kali ini giliran muka Maltren yang merah padam.
"Ia punya kemampuan, mungkin kita perlu mengizinkannya ikut latihan," sahut Vidar. "Apa salahnya dicoba?"
"Berlatih menggunakan apa?" balas Maltren.
"Dengan tongkatku!" sambar Kyra. "Melawan pedang kayumu."
Maltren tertawa.
"Ini pasti akan jadi tontonan menarik," kata Maltren.
Semua mata tertuju pada Anvin, sementara Anvin masih berdiri menimbang-nimbang.
"Jika kau terluka, ayahmu akan membunuhku," kata Anvin.
"Aku takkan terluka," Kyra memohon.
Anvin terdiam beberapa saat lamanya, hingga akhirnya menghela nafasnya.
"Kurasa tak ada salahnya dicoba," kata Anvin. "Anggap saja ini demi membuatmu berhenti merengek. Tentu saja jika para prajurit ini tidak keberatan," imbuh Anvin sambil menoleh ke arah para prajurit.
"AYE!" teriak selusin anak buah ayahnya bersamaan, mereka semua bersemangat mendukung Kyra. Kyra sangat senang mereka mendukung dirinya, hingga tak dapat ia lukiskan betapa senang dirinya. Ia melihat betapa mereka mengagumi dirinya, sama halnya seperti mereka mencintai ayahnya. Kyra tak punya banyak teman, dan para prajurit ini adalah orang-orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
Maltren mencemooh.
"Kalau begitu, biarlah gadis ini mempermalukan dirinya sendiri," kata Maltren. "Akan kuberi pelajaran padanya sekali ini dan untuk selamanya."
Terompet dibunyikan, dan setelah para prajurit lain berdiri melingkar, Kyra masuk ke dalam arena.
Kyra merasa semua pandangan mata tertuju padanya, tampak jelas mereka khawatir. Ia berhadapan dengan lawannya, seorang pria jangkung berumur tiga puluhan dengan badannya yang kekar, seorang prajurit kuat yang telah ia kenal sejak ia perayaan ulang tahun ayahnya di balairung benteng. Sejauh yang dapat ia lihat, ia tahu bahwa pria ini adalah petarung yang baik—namun juga petarung yang kelewat percaya diri, menyerang terlalu cepat sejak awal pertempuran, dan agak ceroboh.
Ia memandang Anvin, mukanya merengut.
"Hinaan macam apa pula ini?" tanya Maltren. "Aku tak mau melawan seorang gadis."
"Kau mempermalukan dirimu sendiri jika takut bertarung melawanku," balas Kyra geram. "Aku punya dua tangan dan dua kaki, sama sepertimu. Jika kau tak mau bertarung melawanku, maka mengakulah kalah!"
Maltren berkedip, terkejut, lalu memandang padanya dengan marah.
"Baiklah kalau begitu," kata Maltren. "Jangan mengadu pada ayahmu jika nanti kau kalah."
Maltren maju secepat kilat, tepat seperti dugaan Kyra; Maltren mengangkat pedangnya tinggi-tinggi lalu menebaskannya kuat-kuat, mengincar bahu Kyra. Kyra telah siap dengan gerakan semacam itu, gerakan yang telah sering ia lihat dilakukan oleh Maltren, gerakan yang mudah ditebak dari ayunan lengannya. Pedang kayu yang dipegang Marlet memang sangat kuat, namun sekaligus berat dan kalah gesit dari tongkat Kyra.
Kyra mengamati tiap gerakan Maltren dengan cermat, menunggu saat yang tepat, dan ia melangkah ke samping, sehingga tebasan yang kuat itu berkelebat di sampingnya saja. Dalam satu gerakan, Kyra memutar tongkatnya dan memukulkannya di sisi bahu Maltren.
Maltren mengerang karena ia terdorong ke luar arena. Ia berdiri di situ, tertegun dan kesal karena ia harus mengakui kekalahannya.
"Ada lagi lainnya? tanya Kyra sembari tersenyum lebar, ia putar badannya dan memandang semua orang yang berdiri melingkar di tepi arena.
Hampir semua prajurit di situ tersenyum; mereka jelas bangga pada dirinya, bangga melihat Kyra telah tumbuh besar dan telah mencapai titik ini. Kecuali Maltren, tentunya, yang merengut marah padanya. Sepertinya ia hendak menantang Kyra lagi, ketika tiba-tiba seorang prajurit lain muncul, menghadapinya dengan tatap mata serius. Pria ini lebih pendek dan lebih gempal, dengan jenggot kemerahan yang tak bercukur dan sorot mata yang ganas. Dari caranya memegang pedang, Kyra tahu bahwa pria ini adalah lawan yang lebih berat daripada Maltren. Ia menganggapnya sebagai sebuah pujian: akhirnya mereka mulai memperhitungkan kemampuan Kyra dengan sungguh-sungguh.
Pria itu menyerang, dan Kyra tak mengerti entah mengapa seolah gerakan yang harus ia lakukan terasa sangat mudah. Seakan-akan nalurinya bangkit dan memandu dirinya. Ia merasa badannya jauh lebih ringan dan lebih gesit dari para pria itu, yang mengenakan baju zirah berat dan pedang kayu yang besar. Mereka semua bertarung dengan mengandalkan kekuatan, dan mereka berharap lawannya akan melawan dan menangkis serangan mereka. Namun Kyra lebih senang mengelak menghindarinya, dan ia tak mau mengikuti pola pertarungan mereka. Mereka mengandalkan kekuatan—namun Kyra lebih mengandalkan kecepatan.
Tongkat itu bergerak kian kemari seolah menjadi perpanjangan tangan Kyra; ia memutarnya dengan cepat hingga lawannya tak sempat bereaksi, lawannya belum selesai bergerak sedangkan Kyra telah berpindah ke belakangnya. Lawannya kali ini menerjang ke arah dadanya—namun ia hanya perlu melangkah ke samping dan mengayunkan tongkat, memukul pergelangan tangan lawannya dan membuat pedang terpental dari genggamannya. Kemudian Kyra memutar tongkatnya lagi dan memukul kepala pria itu.
Terompet