Penjelmaan. Морган Райс. Читать онлайн. Newlib. NEWLIB.NET

Автор: Морган Райс
Издательство: Lukeman Literary Management Ltd
Серия: Jurnal Vampir
Жанр произведения: Героическая фантастика
Год издания: 0
isbn: 9781632911810
Скачать книгу
kemenangannya, dan ia harus memilih dengan cepat. Ia tidak dapat melihat apa yang ada di sekitar tiap pojokan, sekalipun. Dengan membabi buta, ia berbelok ke kiri.

      Ia berdoa semoga itu adalah pilihan yang benar. Ayolah. Kumohon!

      Jantungnya berhenti ketika ia melakukan belokan tajam ke kiri dan melihat jalan buntu di depannya.

      Salah jalan.

      Jalan buntu. Ia berlari ke arah dinding, mencari-cari jalan keluar, apapun itu. Menyadari bahwa tidak ada jalan keluar, ia berbalik untuk menghadapi para penyerang yang mendekatinya.

      Terengah-engah, ia menyaksikan mereka berbelok dan mendekat. Ia bisa melihat di belakang bahu mereka bahwa jika ia berbelok ke kanan, ia akan dapat pulang dengan bebas. Tentu saja. Hanya keberuntungan.

      "Baiklah, cewek," salah satu dari merka berkata, "kau akan menderita sekarang."

      Menyadari bahwa ia tidak mempunyai jalan keluar, mereka berjalan perlahan-lahan ke arahnya, terengah-engah, menyeringai, dan menikmati kekerasan yang akan datang.

      Caitlin menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menyakinkan Jonah untuk bangun, muncul di pojokan, terjaga dan penuh tenaga, siap untuk menyelamatkannya. Tapi ia membuka matanya dan dia tidak ada di sana. Hanya para penyerangnya. Semakin mendekat.

      Ia membayangkan Ibunya, bagaimana ia membencinya, dari semua tempat yang sudah dia paksakan untuk hidup. Ia memikirkan adiknya Sam. Ia memikirkan bagaimana hidupnya setelah hari ini.

      Ia memikirkan seluruh hidupnya, tentang bagaimana ia selama ini diperlakukan, tentang bagaimana tidak seorang pun yang memahami dirinya, tentang bagaimana tidak sesuatu pun menjadi seperti keinginannya. Dan sesuatu berdetak. Entah bagaimana, ia merasa sudah cukup.

      Aku tidak layak menerima ini. Aku TIDAK layak menerima ini.

      Dan kemudian, tiba-tiba, ia merasakannya.

      Itu adalah sebuah gelombang, sesuatu yang tidak seperti apapun yang pernah ia alami. Itu adalah sebuah gelombang kemurkaan, meluap dalam dirinya, membanjiri darahnya. Gelombang itu berpusat dalam perutnya, dan menyebar dari sana. Ia bisa merasakan kakinya menjejak tanah, seolah-olah ia dan beton itu adalah satu, dan bisa merasakan kekuatan terpenting melandanya, merayap melalui pinggangnya, naik ke lengannya, menuju bahunya.

      Caitlin mengeluarkan raungan yang mengejutkan dan menakutkan juga bagi dirinya. Ketika remaja pertama mendekatinya dan mendaratkan tangan gempalnya ke pergelangan tangannya, ia menyaksikan tangannya bergerak dengan sendirinya, mencengkram kuat pergelangan tangan penyerangnya dan memutarnya ke belakang pada sudut yang tepat. Wajah remaja itu berkerut terkejut ketika pergelangannya, dan kemudian lengannya, patah menjadi dua.

      Dia jatuh berlutut, menjerit.

      Ketiga remaja laki-laki lain membelalak dengan terkejut.

      Yang bertubuh paling besar dari ketiganya menyerang ke arahnya.

      "Kau sia-"

      Sebelum dia bisa menyelesaikan, ia lompat ke udara dan menanamkan kedua kakinya tepat di dadanya, mengirimnya terbang ke belakang sekitar sepuluh kaki dan menabrak tumpukan kaleng sampah logam.

      Ia terbaring di sana, tidak bergerak.

      Kedua remaja lainnya saling memandang, terkejut. Dan sangat ketakutan.

      Caitlin melangkah maju, merasakan aliran kekuatan yang tidak manusiawi menjalarinya, dan mendengar dirinya menggeram ketika ia menangkap kedua remaja (masing-masing berukuran dua kali darinya), mengangkat masing-masing dari mereka beberapa kaki di atas tanah menggunakan satu tangan.

      Ketika mereka tergantung di udara, ia mengayunkan mereka kembali, lalu mengayunkan mereka bersama-sama, menubrukkan mereka berdua satu sama lain dengan kekuatan yang luar biasa. Mereka berdua jatuh ke tanah.

      Caitlin berdiri di sana, bernapas, berbuih dengan kemurkaan.

      Semua keempat remaja itu tidak bergerak.

      Ia tidak merasa lega. Sebaliknya, ia menginginkan lagi. Lebih banyak remaja untuk dilawan. Lebih banyak tubuh untuk dilempar.

      Dan ia menginginkan sesuatu yang lain.

      Ia tiba-tiba memiliki pandangan sejernih kristal, dan dapat menyoroti leher mereka, terpajan. Ia bisa melihat sampai dengan sepersepuluh inci, dan ia dapat melihat, dari tempatnya berdiri, pembuluh darah berdenyut pada masing-masing leher itu. Ia ingin menggigit. Untuk makan.

      Tidak memahami apa yang terjadi pada dirinya, ia menggoyangkan kepalanya ke belakang dan mengeluarkan pekikan tidak wajar, bergema pada bangunan dan blok itu. Itu adalah pekikan kemenangan, dan kemarahan yang tidak terpenuhi.

      Itu adalah jeritan hewan yang menginginkan lebih banyak.

      Bab Dua

      Caitlin berdiri di depan pintu apartemen barunya, memandangi, dan tiba-tiba menyadari di mana ia berada. Ia tidak tahu bagaimana ia sampai di sana. Hal terakhir yang ia ingat, ia ada dalam gang. Entah bagaimana, ia bisa kembali pulang.

      Ia ingat, bagaimana pun, setiap detik atas apa yang terjadi dalam gang itu. Ia mencoba untuk menghapusnya dari pikirannya, tapi tidak bisa. Ia menatap lengan dan tangannya, mengharapkannya terlihat berbeda - tapi lengan dan tangannya normal. Hanya seperti yang selalu mereka lakukan. Kemarahan merayap melalui dirinya, merubahnya, lalu pergi dengan seketika.

      Tapi efek setelahnya yang tersisa: ia merasa hampa, untuk satu hal. Mati rasa. Dan ia merasakan sesuatu hal lain. Ia tidak dapat memahaminya dengan benar. Gambar-gambar bermunculan melalui benaknya, gambar-gambar leher para pengganggu itu. Dari detak jantung mereka. Dan ia merasa kelaparan. Sebuah hasrat.

      Caitlin sangat tidak ingin pulang. Ia tidak ingin berurusan dengan Ibunya, khususnya hari ini, tidak ingin berurusan dengan tempat baru, dengan tidak berkemas. Jika itu tidak karena Sam beradd di sana, ia mungkin telah berpaling dan pergi. Ke mana ia akan pergi, ia tidak ada gagasan - tapi paling tidak ia akan berjalan.

      Ia mengambil napas dalam-dalam dan mengulurkan tangan serta meletakkan tangannya di pegangan pintu. Entah kenapa pegangan pintu itu hangat, atau tangannya yang sedingin es.

      Caitlin memasuki apartemen yang terlalu terang itu. Ia bisa mencium bau makanan di atas kompor - atau mungkin, dalam microwave. Sam. Ia selalu pulang lebih cepat dan membuat makanan untuk dirinya sendiri. Ibunya tidak akan pulang selama berjam-jam.

      "Itu tidak terlihat seperti hari pertama yang bagus."

      Caitlin berbalik, terkejut pada suara Ibunya. Dia duduk di sana, di sofa, mengisap sebuah rokok, telah mengamati Caitlin dan mencibir.

      "Apa yang kau lakukan, sudah merusak sweater itu?

      Caitlin melihat ke bawah dan menyadari untuk pertama kalinya ada noda; mungkin akibat menabrak semen.

      "Kenapa ibu ada di rumah lebih awal?" tanya Caitlin.

      "Hari pertama bagiku, juga, tahu kan," tukasnya. "Kau bukan satu-satunya. Pekerjaan ringan. Bos menyuruhku pulang lebih awal."

      Caitlin tidak tahan dengan nada nakal Ibunya. Tidak malam ini. Ia menghina kepadanya, dan malam ini, Caitlin merasa muak. Ia memutuskan untuk memberinya rasa obat-obatannya sendiri.

      "Bagus," balas Caitlin. "Apa itu berarti kita pindah lagi?"

      Ibunya tiba-tiba melompat berdiri. "Berhati-hatilah dengan ucapanmu itu!" teriaknya.

      Caitlin tahu Ibunya sudah menunggu sebuah alasan untuk berteriak padanya. Ia pikir itu cara terbaik hanya untuk memancingnya dan segera menyelesaikannya.

      "Kau seharusnya tidak merokok di depan Sam," jawab Caitlin dingin, lalu memasuki kamar tidur kecilnya dan membanting pintu di belakangnya, menguncinya.

      Segera, Ibunya menggedor pintu.

      "Kau keluar ke sini, anak sialan! Cara bicara semacam apa kepada ibumu!? Siapa yang menaruh roti di mejamu...."

      Pada malam ini, Caitlin, perhatiannya sangat teralihkan, bisa meredam suara Ibunya. Sebaliknya, ia memutar ulang benaknya